Sabtu, 23 Januari 2010
Shinkansen (新幹線)
Apa itu Shinkansen?
Shin artinya baru. Kansen artinya jaringan rel. Jadi Shinkansen artinya jaringan rel baru. Kurang lebih seperti itu.
Shinkansen adalah nama sebuah jaringan kereta api listrik super cepat yang dikelola oleh perusahaan Japan Railways Group sejak tahun 1964 dengan kereta pertamanya adalah Tokaido Shinkansen 0 Series ciptaan Kawasaki Heavy Industries yang berkecepatan "hanya" 210 km/jam.
Itu dulu banget lho.....
Sekarang Guinness Book of World Records telah mencatat Tokaido Shinkansen MLX01 sebagai kereta tercepat di dunia dengan kecepatan maksimal 581 km/jam.
Sebagai perbandingan: dari Jakarta ke Bandung naik kereta api Argo Gede bisa memakan waktu sekitar 4 jam perjalanan, tapi kalau naik Shinkansen paling tidak bisa ditempuh dalam waktu 1/2 jam saja.
Di dunia barat, Shinkansen dikenal juga dengan nama "bullet train" atau "kereta peluru" yang memang dilihat dari bentuknya yang mirip peluru dan kecepatannya yang super tinggi.
Kereta Shinkansen membutuhkan waktu kurang lebih 90 detik untuk mencapai kecepatan 500 km/jam dari titik nol. Pernah terlambat gak kereta Shinkansen? Pernah dong.
Rata-rata keterlambatan Shinkansen adalah 6 detik!
Itu sudah termasuk segala jenis human error, cuaca buruk, dan gempa bumi. Sedangkan tingkat keamanannya juga yang tertinggi di dunia dengan jumlah kematian 0% selama Shinkansen beroperasi.
Di Indonesia sudah berapa ratus orang yang meninggal karena keretanya rusak ya?
Saat ini JRG mengoperasikan 8 rute/jalur Shinkansen yang mencakup pulau Honshu dan Kyushu, yaitu rute Tokaido, Tohoku, Akita, Yamagata, Joetsu, Nagano, Sanyo, dan Kyushu.
Rute Tokaido adalah jalur kereta tersibuk di dunia yang telah mengangkut lebih dari 6 miliar penumpang. Sedangkan rute tersibuk di Jepang adalah Tokyo-Osaka dengan 10 kereta Shinkansen bolak balik setiap jamnya yang masing-masing membawa 16 gerbong berkapasitas 1.300 tempat duduk.
Bagaimana dengan harganya?
Naik Tokaido Shinkansen dari Tokyo ke Osaka yang jaraknya sekitar 552 km harga tiketnya adalah 13.750 yen (atau sekitar Rp. 1.400.000) untuk satu orang dewasa.
Harganya bisa dibilang sama dengan harga tiket pesawat terbang Skymark (sekelas AirAsia), tapi kenapa masih banyak yang pake kereta Shinkansen?
Rabu, 20 Januari 2010
Jejak Kehidupan Di Negeri Sakura
Perjalanan hidup memang tak dapat diduga, walau tetap harus direncanakan. Berawal dari kesempatan sebagai researcher di Tokyo Engineering University yang dibiayai oleh HEDS-JICA, April-Oktober 1998, Hachioji, Japan, penulis kemudian mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan program S2, bahkan nantinya S3 di Jepang. Awal April tahun 2000, penulis mengawali studi lanjut tersebut dengan sebuah tekad bahwa kesempatan pasti tak akan datang dua kali. Saat itu dimulailah perjalanan hidup seorang buda' Pontianak, yang akan mengisi hari-harinya di sebuah negara yang mungkin menjadi idaman setiap orang.
Hawa dingin seketika mencegat penulis ketika baru saja tiba di Narita International Airport. Setelah diberikan pengarahan, mulailah kami yang saat itu dalam satu rombongan --berjumlah kurang lebih hanya belasan orang penerima beasiswa Monbukagakusho (Japan Ministry of Education)-- diantar ke kampus masing-masing. Setibanya di asrama milik Tokyo Institute of Technology, penulis kemudian diterima dengan baik oleh pengelola asrama tersebut. Sebuah kamar yang dilengkapi dengan tempat tidur, meja belajar, lemari pakaian, rak buku, wastafel, dalam satu ruangan berukuran kurang lebih 2×4 m2, kelak menjadi saksi sebuah pergulatan budaya, kerja keras bahkan kenaifan seorang anak kampung.
Selama satu tahun pertama, penulis harus menempuh masa orientasi dalam bentuk enam bulan untuk mempelajari Bahasa Jepang dan sisanya untuk mempersiapkan riset. Kegiatan tersebut dimulai setiap pagi hingga sore hari. Oleh karena itu tak heran setiap pagi penulis harus terburu-buru --sebagaimana ciri khas orang Jepang-- mengejar kereta listrik (densha) dan rela berimpitan di gerbong dengan orang-orang Jepang yang konon hanya mandi satu kali sehari, namun tertib ketika antri. Sebagai seseorang yang berasal dari negara yang memiliki kultur budaya berbeda, penulis tentu saja harus belajar banyak, tidak hanya dunia kampus namun juga tentang luar kampus.
Karakter orang Jepang yang pekerja keras, disiplin, tepat waktu, pantang menyerah, mandiri, bekerja dalam kelompok dan lainnya adalah karakter yang mau tidak mau mempengaruhi penulis. Bahkan, biarkanlah karakter tersebut menjadi 'racun' yang menjalar di setiap pembuluh darah karena ternyata kelak itu akan menjadi penopang keberhasilan bagi siapa saja. Itulah yang penulis rasakan selama tinggal di Jepang.
Beban kuliah yang padat, tugas, kewajiban untuk publikasi hasil penelitian dalam bentuk prosiding (annual conferences ataupun international conferences) dan jurnal, seminar di laboratorium untuk laporan kemajuan penelitian, hingga seminar buku referensi dan jurnal peneliti lain adalah santapan terjadwal yang harus dilakoni. Tak heran penulis sering kali harus lembur di laboratorium ataupun pulang dengan kereta terakhir.
Setahun setelah tinggal di asrama milik kampus, penulis harus pindah. Dengan status sebagai pengantin baru saat itu mengharuskan juga penulis untuk mencari apartemen. Ternyata memang tidak mudah untuk tinggal di apartemen. Penulis dan siapa saja mesti menyiapkan uang sekitar 250.000 yen (atau 30 juta-an rupiah) yang terdiri dari deposit (shikikin/hoshokin) yang besarnya biasanya 1-3 bulan uang sewa, uang kunci/uang terimakasih kepada tuan rumah pemilik apartemen (reikin) yang besarnya 1-2 bulan uang sewa, dan uang komisi untuk agen properti (chukai-tesuryo), dan tentu saja uang sewa bulan pertama. Bahkan bagi kita orang asing yang ingin menyewa apartemen diharuskan untuk mencari penjamin yang mesti orang Jepang.
Menyiasati mahalnya kehidupan di Jepang, mau tidak mau mengharuskan kita untuk putar otak walaupun setiap bulan beasiswa yang diterima dari Pemerintah Jepang adalah sekitar 20 juta rupiah. Dengan memanfaatkan pamflet (chirasi) kita dapat mengetahui informasi sale dan discount barang-barang tertentu, seperti gula pasir, minyak goreng, telur, roti, dan lain sebagainya. Itupun harus rebutan dengan orang Jepang sendiri. Membawa masakan sendiri (bentou) juga membuat lebih hemat. Bayangkan saja, untuk sekali makan di luar bisa menghabiskan setidaknya 120 ribu rupiah, tentu akan lebih hemat jika kita memasak sendiri. Soal rasa? Ah, lupakanlah itu sementara waktu. Memanfaatkan poin belanja (pointo kaado) juga adalah sebuah strategi untuk berhemat. Atau cobalah untuk berbelanja di atas jam 8 malam. Saat itu hampir semua produk makanan diberikan potongan harga sebanyak 50%.
Aha!!! Jangan lupakan pula momen flea market atau bazar. Di Jepang, sering sekali momen itu terjadi dan sudah pasti akan banyak peminatnya. Jangan bayangkan kalau barang-barang yang dijual itu adalah barang tak layak pakai. Tak jarang barang-barang itu dijual hanya karena penjualnya sudah bosan memajangnya di rumah atau karena ingin membeli produk terbaru untuk barang yang sama. Harganya? Jangan khawatir, jelas-jelas miring dari harga pasaran. Jika ingin lebih murah lagi, ada siasat yang jitu, misalnya pada pergantian musim. Belilah baju untuk musim dingin pada saat menjelang musim panas dan sebaliknya. Toko 100 yen (hyakuen shoppu) juga ada di mana-mana, menyediakan barang sehari-hari dengan harga murah atau all item hanya 100 yen (sekitar 12 ribu rupiah). Di awal Tahun Baru juga banyak toko atau mal yang menyediakan 'kantong keberuntungan' (fuku bukuro). Kita tidak bisa melihat isi kantong tersebut, tetapi biasanya isinya cukup banyak yang total harga sebenarnya adalah 3 sampai 10 kali lipat harga yang kita bayar di kasir.
Suka nonton bioskop? Ah, ini hobi yang sepatutnya menyiksa perasaan kalau kita berada di Jepang. Bayangkan saja, tiket masuk seharga 1.800 yen (kurang lebih 200 ribu rupiah) untuk setiap pertunjukan. Tapi setiap awal bulan ada yang disebut cinema day, banyak bioskop yang harga tiketnya 'cukup murah', yaitu 1.000 yen (kurang lebih 120 ribu rupiah). Selain itu, setiap hari Rabu ada ladies day, cukup 1.000 yen. Masih kemahalan? Kalau begitu, beli saja DVD player, kemudian ke rental untuk meminjam video yang harganya hanya 100-300 yen (sekitar 12 ribu-36 ribu rupiah) untuk sewa 4-7 hari.
Untuk yang hobi traveling, ingin jalan-jalan keliling Jepang juga dapat dengan ongkos murah. Juhachi kippu (18 karcis/tiket) adalah pilihan. Karcis ini berharga 11.500 yen untuk 5 hari per-orang atau sehari untuk 5 orang dan bisa digunakan selama satu hari penuh keluar masuk stasiun tanpa harus bayar ongkos tambahan, cukup ditandai cap petugas stasiun saat keberangkatan pertama. Karcis ini dipergunakan selama tiga kali setahun, yaitu:
1. liburan musim dingin (10 Desember sampai dengan 20 Januari),
2. liburan musim semi (10 Maret sampai dengan 10 April),
3. liburan musim panas (10 Agustus sampai dengan 10 September).
Emang sih, tiket itu bukan untuk jenis kereta yang ekspres, apalagi shinkansen. Namun jangan khawatir, perjalanan ditanggung akan selalu nyaman dan menyenangkan karena semua kereta lokal dilengkapi dengan cooler (AC) dan heater. Jadi tak perlu mengenakan jaket tebal jika bepergian di musim dingin, misalnya. Karena selain gerbong yang hangat karena pemakaian heater, kursi yang kita duduki pun terasa hangat, bahkan kadang terasa agak panas.
Berburu barang bekas di tempat sampah juga menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi mahasiswa asing. Uuups!!! Please deh, tempat sampah di Jepang sama sekali jauh berbeda dengan di negara kita. Mereka memisahkan barang terbakar (moeru gomi) dengan tidak terbakar (moenai gomi) pada kantong plastik yang berbeda warna. Tempat pengumpulan sampahnya juga bersih. Nah, setiap hari tertentu orang-orang Jepang yang sudah bosan dengan suatu produk, seperti TV, kulkas, tape recorder, video, microwave, rice cooker, toaster, dan lain sebagainya, akan membuangnya ke tempat sampah. Jangan bayangkan lagi kalau barang-barang itu sudah rusak. Barang-barang tersebut bahkan masih layak pakai, walaupun mungkin saja ada fungsinya yang tidak lagi optimal.
Oh iya! Tahukah berapa yang harus kita bayar kalau cukur rambut? Siapkanlah uang 3.500 yen (sekitar 420 ribu rupiah) untuk sekali cukur rambut. Makanya tak heran mungkin banyak mahasiswa asing yang membiarkan rambutnya gondrong. Memang sih ada yang murah, hanya sekitar 1.000-1.500 yen saja (sekitar 120 ribu -180 ribu rupiah), tapi itu dilakukan dalam hitungan waktu 10-15 menit. Untuk menyiasatinya belilah alat potong rambut elektronik harganya sekitar 5.000 yen (kurang lebih 600 ribu rupiah). Alat tersebut sudah lengkap dengan piranti untuk mencegah agar rambut tidak terpangkas habis secara tidak sengaja.
Untuk mereka yang pecandu rokok, upayakanlah untuk melupakan itu selama di Jepang. Bagaimana tidak, perokok tersebut akan menghabiskan uang sekitar 13 juta rupiah per-tahun dengan asumsi 1 bungkus rokok per-hari dan harga per-bungkus adalah 300 yen (36 ribu rupiah). Apalagi perkembangan terbaru, kabarnya Pemerintah Jepang mulai membatasi umur para pecandu rokok dengan UU Jepang yang melarang rokok bagi yang belum berumur 20 tahun. Memang, mesin penjual otomatis atau vending machine (jidou hambaiki) khusus menjual rokok dengan gampang ditemui. Namun terkait dengan undang-undang baru itu, Pemerintah Jepang mewajibkan semua Tabaco Vending Machine dilengkapi dengan sensor khusus yang dapat membaca tanggal lahir, bulan dan tahun si calon pembeli atau sebuah kartu khusus yang disebut Taspo Card (Tasupo Kaado). Kartu ini dilengkapi dengan identitas diri lengkap, termasuk foto dan sensor seperti kartu ATM.
Selain mahalnya segala kebutuhan dan barang di Jepang, banyak pula kebijakan Pemerintah Jepang yang sangat bermanfaat dan meringankan, salah satunya adalah fasilitas kesehatan. Kita diwajibkan untuk mengikuti program asuransi nasional karena nantinya hanya perlu membayar 30% dari total biaya berobat. Bahkan sebagai mahasiswa akan memperoleh tambahan potongan sebesar 35% dari Kementerian Pendidikan Jepang. Jangan khawatir dengan premi asuransi setiap bulan, karena jauh lebih ringan daripada orang kebanyakan dan perlakuan yang diberikan tidak berbeda. Apakah orang kaya atau miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit adalah sangat mudah.
Bagi mahasiswa yang kebetulan istrinya hamil, akan ada keringanan biaya persalinan. Dengan menunjukkan beberapa persyaratan yang diperlukan dan wawancara maka kita hanya perlu membayar 35.000 yen saja (4.200.000 rupiah) dari biaya yang semestinya dibayarkan, yaitu 300.000 yen (sekitar 36 juta rupiah). Bahkan pihak asuransi akan memberikan lagi pengembalian biaya melahirkan (sushan hojookin), yaitu sebesar 300.000 yen. Cukupkah? Daftarkanlah anak tersebut ke kantor kecamatan setempat (fukushi kuyakusho) untuk memperoleh uang susu (jidou te a te) 5.000 yen per-bulan (600 ribu rupiah).
Kalau saja banyak keringanan yang telah diberikan oleh Pemerintah Jepang ini dirasakan masih belum cukup, maka mahasiswa asing diperbolehkan untuk kerja sambilan/part time job (arubaito) walau dibatasi 20 jam per-minggu. Hanya dengan memiliki surat ijin (shikaku gaikatsudou kyokasho) dari kantor imigrasi setempat, dengan terlebih dahulu memberikan dokumen persyaratan, maka kita bisa memperoleh 120 ribu rupiah per-jam atau hampir 10 juta setiap bulannya.
Bagi mahasiswa yang muslim, tak perlu khawatir pula akan sulit memperoleh makanan halal, baik daging sapi, daging ayam, mie instan, bumbu-bumbu penyedap made in Indonesia, bahkan tempe sekalipun, karena ada beberapa toko halal di sana yang menyediakan pemesanan online. Kalau istri mengenakan jilbab rapi atau seorang laki-laki memelihara jenggot juga akan aman-aman saja karena privacy seseorang sangat dihormati di Jepang.
Sungguh. Sebagai seorang mahasiswa, Jepang akan meninggalkan banyak jejak kehidupan bagi siapa saja selama pernah menetap di sana. Rasa senang ketika penelitian kita berhasil dipublikasikan, atau dapat menyelesaikan setiap tugas dengan baik, hingga sekadar memiliki sedikit waktu luang untuk sejenak berleha-leha adalah tentu memberikan kebahagiaan. Sedih saat ditegur oleh profesor, beban tugas yang terlalu banyak, jauh dari keluarga atau menyadari bahwa hanya tinggal kita sendiri saja yang masih di laboratorium menjelang tengah malam untuk penelitian, sudah tentu itu juga adalah sebuah kenangan. Namun, bukankah suka duka adalah keniscayaan bagi siapa saja? Itulah kehidupan. Ketika dijalani dengan keikhlasan dan bukan sebagai beban, maka percayalah diujungnya adalah sebuah keberhasilan. Semoga.
Hawa dingin seketika mencegat penulis ketika baru saja tiba di Narita International Airport. Setelah diberikan pengarahan, mulailah kami yang saat itu dalam satu rombongan --berjumlah kurang lebih hanya belasan orang penerima beasiswa Monbukagakusho (Japan Ministry of Education)-- diantar ke kampus masing-masing. Setibanya di asrama milik Tokyo Institute of Technology, penulis kemudian diterima dengan baik oleh pengelola asrama tersebut. Sebuah kamar yang dilengkapi dengan tempat tidur, meja belajar, lemari pakaian, rak buku, wastafel, dalam satu ruangan berukuran kurang lebih 2×4 m2, kelak menjadi saksi sebuah pergulatan budaya, kerja keras bahkan kenaifan seorang anak kampung.
Selama satu tahun pertama, penulis harus menempuh masa orientasi dalam bentuk enam bulan untuk mempelajari Bahasa Jepang dan sisanya untuk mempersiapkan riset. Kegiatan tersebut dimulai setiap pagi hingga sore hari. Oleh karena itu tak heran setiap pagi penulis harus terburu-buru --sebagaimana ciri khas orang Jepang-- mengejar kereta listrik (densha) dan rela berimpitan di gerbong dengan orang-orang Jepang yang konon hanya mandi satu kali sehari, namun tertib ketika antri. Sebagai seseorang yang berasal dari negara yang memiliki kultur budaya berbeda, penulis tentu saja harus belajar banyak, tidak hanya dunia kampus namun juga tentang luar kampus.
Karakter orang Jepang yang pekerja keras, disiplin, tepat waktu, pantang menyerah, mandiri, bekerja dalam kelompok dan lainnya adalah karakter yang mau tidak mau mempengaruhi penulis. Bahkan, biarkanlah karakter tersebut menjadi 'racun' yang menjalar di setiap pembuluh darah karena ternyata kelak itu akan menjadi penopang keberhasilan bagi siapa saja. Itulah yang penulis rasakan selama tinggal di Jepang.
Beban kuliah yang padat, tugas, kewajiban untuk publikasi hasil penelitian dalam bentuk prosiding (annual conferences ataupun international conferences) dan jurnal, seminar di laboratorium untuk laporan kemajuan penelitian, hingga seminar buku referensi dan jurnal peneliti lain adalah santapan terjadwal yang harus dilakoni. Tak heran penulis sering kali harus lembur di laboratorium ataupun pulang dengan kereta terakhir.
Setahun setelah tinggal di asrama milik kampus, penulis harus pindah. Dengan status sebagai pengantin baru saat itu mengharuskan juga penulis untuk mencari apartemen. Ternyata memang tidak mudah untuk tinggal di apartemen. Penulis dan siapa saja mesti menyiapkan uang sekitar 250.000 yen (atau 30 juta-an rupiah) yang terdiri dari deposit (shikikin/hoshokin) yang besarnya biasanya 1-3 bulan uang sewa, uang kunci/uang terimakasih kepada tuan rumah pemilik apartemen (reikin) yang besarnya 1-2 bulan uang sewa, dan uang komisi untuk agen properti (chukai-tesuryo), dan tentu saja uang sewa bulan pertama. Bahkan bagi kita orang asing yang ingin menyewa apartemen diharuskan untuk mencari penjamin yang mesti orang Jepang.
Menyiasati mahalnya kehidupan di Jepang, mau tidak mau mengharuskan kita untuk putar otak walaupun setiap bulan beasiswa yang diterima dari Pemerintah Jepang adalah sekitar 20 juta rupiah. Dengan memanfaatkan pamflet (chirasi) kita dapat mengetahui informasi sale dan discount barang-barang tertentu, seperti gula pasir, minyak goreng, telur, roti, dan lain sebagainya. Itupun harus rebutan dengan orang Jepang sendiri. Membawa masakan sendiri (bentou) juga membuat lebih hemat. Bayangkan saja, untuk sekali makan di luar bisa menghabiskan setidaknya 120 ribu rupiah, tentu akan lebih hemat jika kita memasak sendiri. Soal rasa? Ah, lupakanlah itu sementara waktu. Memanfaatkan poin belanja (pointo kaado) juga adalah sebuah strategi untuk berhemat. Atau cobalah untuk berbelanja di atas jam 8 malam. Saat itu hampir semua produk makanan diberikan potongan harga sebanyak 50%.
Aha!!! Jangan lupakan pula momen flea market atau bazar. Di Jepang, sering sekali momen itu terjadi dan sudah pasti akan banyak peminatnya. Jangan bayangkan kalau barang-barang yang dijual itu adalah barang tak layak pakai. Tak jarang barang-barang itu dijual hanya karena penjualnya sudah bosan memajangnya di rumah atau karena ingin membeli produk terbaru untuk barang yang sama. Harganya? Jangan khawatir, jelas-jelas miring dari harga pasaran. Jika ingin lebih murah lagi, ada siasat yang jitu, misalnya pada pergantian musim. Belilah baju untuk musim dingin pada saat menjelang musim panas dan sebaliknya. Toko 100 yen (hyakuen shoppu) juga ada di mana-mana, menyediakan barang sehari-hari dengan harga murah atau all item hanya 100 yen (sekitar 12 ribu rupiah). Di awal Tahun Baru juga banyak toko atau mal yang menyediakan 'kantong keberuntungan' (fuku bukuro). Kita tidak bisa melihat isi kantong tersebut, tetapi biasanya isinya cukup banyak yang total harga sebenarnya adalah 3 sampai 10 kali lipat harga yang kita bayar di kasir.
Suka nonton bioskop? Ah, ini hobi yang sepatutnya menyiksa perasaan kalau kita berada di Jepang. Bayangkan saja, tiket masuk seharga 1.800 yen (kurang lebih 200 ribu rupiah) untuk setiap pertunjukan. Tapi setiap awal bulan ada yang disebut cinema day, banyak bioskop yang harga tiketnya 'cukup murah', yaitu 1.000 yen (kurang lebih 120 ribu rupiah). Selain itu, setiap hari Rabu ada ladies day, cukup 1.000 yen. Masih kemahalan? Kalau begitu, beli saja DVD player, kemudian ke rental untuk meminjam video yang harganya hanya 100-300 yen (sekitar 12 ribu-36 ribu rupiah) untuk sewa 4-7 hari.
Untuk yang hobi traveling, ingin jalan-jalan keliling Jepang juga dapat dengan ongkos murah. Juhachi kippu (18 karcis/tiket) adalah pilihan. Karcis ini berharga 11.500 yen untuk 5 hari per-orang atau sehari untuk 5 orang dan bisa digunakan selama satu hari penuh keluar masuk stasiun tanpa harus bayar ongkos tambahan, cukup ditandai cap petugas stasiun saat keberangkatan pertama. Karcis ini dipergunakan selama tiga kali setahun, yaitu:
1. liburan musim dingin (10 Desember sampai dengan 20 Januari),
2. liburan musim semi (10 Maret sampai dengan 10 April),
3. liburan musim panas (10 Agustus sampai dengan 10 September).
Emang sih, tiket itu bukan untuk jenis kereta yang ekspres, apalagi shinkansen. Namun jangan khawatir, perjalanan ditanggung akan selalu nyaman dan menyenangkan karena semua kereta lokal dilengkapi dengan cooler (AC) dan heater. Jadi tak perlu mengenakan jaket tebal jika bepergian di musim dingin, misalnya. Karena selain gerbong yang hangat karena pemakaian heater, kursi yang kita duduki pun terasa hangat, bahkan kadang terasa agak panas.
Berburu barang bekas di tempat sampah juga menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi mahasiswa asing. Uuups!!! Please deh, tempat sampah di Jepang sama sekali jauh berbeda dengan di negara kita. Mereka memisahkan barang terbakar (moeru gomi) dengan tidak terbakar (moenai gomi) pada kantong plastik yang berbeda warna. Tempat pengumpulan sampahnya juga bersih. Nah, setiap hari tertentu orang-orang Jepang yang sudah bosan dengan suatu produk, seperti TV, kulkas, tape recorder, video, microwave, rice cooker, toaster, dan lain sebagainya, akan membuangnya ke tempat sampah. Jangan bayangkan lagi kalau barang-barang itu sudah rusak. Barang-barang tersebut bahkan masih layak pakai, walaupun mungkin saja ada fungsinya yang tidak lagi optimal.
Oh iya! Tahukah berapa yang harus kita bayar kalau cukur rambut? Siapkanlah uang 3.500 yen (sekitar 420 ribu rupiah) untuk sekali cukur rambut. Makanya tak heran mungkin banyak mahasiswa asing yang membiarkan rambutnya gondrong. Memang sih ada yang murah, hanya sekitar 1.000-1.500 yen saja (sekitar 120 ribu -180 ribu rupiah), tapi itu dilakukan dalam hitungan waktu 10-15 menit. Untuk menyiasatinya belilah alat potong rambut elektronik harganya sekitar 5.000 yen (kurang lebih 600 ribu rupiah). Alat tersebut sudah lengkap dengan piranti untuk mencegah agar rambut tidak terpangkas habis secara tidak sengaja.
Untuk mereka yang pecandu rokok, upayakanlah untuk melupakan itu selama di Jepang. Bagaimana tidak, perokok tersebut akan menghabiskan uang sekitar 13 juta rupiah per-tahun dengan asumsi 1 bungkus rokok per-hari dan harga per-bungkus adalah 300 yen (36 ribu rupiah). Apalagi perkembangan terbaru, kabarnya Pemerintah Jepang mulai membatasi umur para pecandu rokok dengan UU Jepang yang melarang rokok bagi yang belum berumur 20 tahun. Memang, mesin penjual otomatis atau vending machine (jidou hambaiki) khusus menjual rokok dengan gampang ditemui. Namun terkait dengan undang-undang baru itu, Pemerintah Jepang mewajibkan semua Tabaco Vending Machine dilengkapi dengan sensor khusus yang dapat membaca tanggal lahir, bulan dan tahun si calon pembeli atau sebuah kartu khusus yang disebut Taspo Card (Tasupo Kaado). Kartu ini dilengkapi dengan identitas diri lengkap, termasuk foto dan sensor seperti kartu ATM.
Selain mahalnya segala kebutuhan dan barang di Jepang, banyak pula kebijakan Pemerintah Jepang yang sangat bermanfaat dan meringankan, salah satunya adalah fasilitas kesehatan. Kita diwajibkan untuk mengikuti program asuransi nasional karena nantinya hanya perlu membayar 30% dari total biaya berobat. Bahkan sebagai mahasiswa akan memperoleh tambahan potongan sebesar 35% dari Kementerian Pendidikan Jepang. Jangan khawatir dengan premi asuransi setiap bulan, karena jauh lebih ringan daripada orang kebanyakan dan perlakuan yang diberikan tidak berbeda. Apakah orang kaya atau miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit adalah sangat mudah.
Bagi mahasiswa yang kebetulan istrinya hamil, akan ada keringanan biaya persalinan. Dengan menunjukkan beberapa persyaratan yang diperlukan dan wawancara maka kita hanya perlu membayar 35.000 yen saja (4.200.000 rupiah) dari biaya yang semestinya dibayarkan, yaitu 300.000 yen (sekitar 36 juta rupiah). Bahkan pihak asuransi akan memberikan lagi pengembalian biaya melahirkan (sushan hojookin), yaitu sebesar 300.000 yen. Cukupkah? Daftarkanlah anak tersebut ke kantor kecamatan setempat (fukushi kuyakusho) untuk memperoleh uang susu (jidou te a te) 5.000 yen per-bulan (600 ribu rupiah).
Kalau saja banyak keringanan yang telah diberikan oleh Pemerintah Jepang ini dirasakan masih belum cukup, maka mahasiswa asing diperbolehkan untuk kerja sambilan/part time job (arubaito) walau dibatasi 20 jam per-minggu. Hanya dengan memiliki surat ijin (shikaku gaikatsudou kyokasho) dari kantor imigrasi setempat, dengan terlebih dahulu memberikan dokumen persyaratan, maka kita bisa memperoleh 120 ribu rupiah per-jam atau hampir 10 juta setiap bulannya.
Bagi mahasiswa yang muslim, tak perlu khawatir pula akan sulit memperoleh makanan halal, baik daging sapi, daging ayam, mie instan, bumbu-bumbu penyedap made in Indonesia, bahkan tempe sekalipun, karena ada beberapa toko halal di sana yang menyediakan pemesanan online. Kalau istri mengenakan jilbab rapi atau seorang laki-laki memelihara jenggot juga akan aman-aman saja karena privacy seseorang sangat dihormati di Jepang.
Sungguh. Sebagai seorang mahasiswa, Jepang akan meninggalkan banyak jejak kehidupan bagi siapa saja selama pernah menetap di sana. Rasa senang ketika penelitian kita berhasil dipublikasikan, atau dapat menyelesaikan setiap tugas dengan baik, hingga sekadar memiliki sedikit waktu luang untuk sejenak berleha-leha adalah tentu memberikan kebahagiaan. Sedih saat ditegur oleh profesor, beban tugas yang terlalu banyak, jauh dari keluarga atau menyadari bahwa hanya tinggal kita sendiri saja yang masih di laboratorium menjelang tengah malam untuk penelitian, sudah tentu itu juga adalah sebuah kenangan. Namun, bukankah suka duka adalah keniscayaan bagi siapa saja? Itulah kehidupan. Ketika dijalani dengan keikhlasan dan bukan sebagai beban, maka percayalah diujungnya adalah sebuah keberhasilan. Semoga.
Selasa, 19 Januari 2010
Kobe Mosque, Masjid Pertama Di Jepang
Kobe Mosque merupakan masjid pertama di Jepang. Masjid ini dibangun tahun 1928 di Nakayamate Dori, Chuo-ku. Kobe berarti Gate of God atau Gerbang Tuhan.
Banyak pedagang muslim, di antaranya dari India dan Turki yang berinisiatif mendirikan masjid sebagai tempat ibadah bersama. Setelah mendapat izin dari kekaisaran Jepang, dan dibantu para arsitek India, dengan arsitektur bergaya Turki, akhirnya pada bulan Oktober 1935, masjid ini resmi dibuka untuk tempat ibadah umat muslim.
Pada masa perang dunia kedua, ketika bom sekutu meluluhlantakkan bangunan di Jepang, masjid ini tetap berdiri kokoh atas perlindungan Allah swt.
Kini masjid yang memiliki imam masjid Imam Mohsen Shaker al-Bayoumi, lulusan Universitas Al Azhar, Kairo, memiliki bangunan berlantai tiga untuk menampung jemaah muslim setempat maupun pendatang yang jumlahnya berkembang pesat. Dua orang Jepang muslim pertama yang diketahui ialah Mitsutaro Takaoka/Taro Takaoka yang memeluk Islam pada tahun 1909 dan mengambil nama Omar Yamaoka selepas menunaikan haji di Mekah. Serta Bumpachiro Ariga yang pada waktu yang sama telah pergi ke India untuk berniaga dan kemudian memeluk Islam di bawah pengaruh orang-orang muslim setempat, serta mengambil nama Ahmad Ariga.
Pada hikayat yang berlainan dikisahkan bahwa seorang Jepang yang dikenali sebagai Torajiro Yamada mungkin merupakan orang Jepang muslim pertama ketika beliau melawat negara Turki disebabkan kasihan terhadap mereka yang nahas dalam kapal Ertugrul. Beliau mengambil nama Abdul Khalil.
Komunitas muslim, konon bermula datangnya beratus-ratus, pelarian muslim Turki, Uzbek, Tajik, Kirghiz, Kazakh dan Tatar Turki. Yang lain dari Asia Tengah dan Rusia, dampak dari Revolusi Bolshevik semasa Perang Dunia I. Orang-orang muslim yang diberikan perlindungan di Jepang ini, menetap di beberapa bandar raya utama di sekitar Jepang dan menumbuhkan komunitas-komunitas muslim yang kecil. Sebagian orang Jepang memeluk Islam melalui hubungan mereka dengan orang-orang muslim ini.
Ada sebuah kisah menarik, pilot-pilot Jepang yang pergi ke negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia sebagai tentera semasa Perang Dunia II diajarkan mengungkapkan Laillaha illallah ketika pesawat-pesawat mereka ditembak jatuh di kawasan-kawasan ini supaya mereka tidak dibunuh. Sebuah pesawat Jepang telah dikatakan ditembak jatuh dan pilotnya ditangkap oleh penduduk-penduduk. Apabila pilot itu menjeritkan kata-kata tersebut, dia menjadi heran ketika penduduk-penduduk itu mengubahkan sikap-sikap mereka terhadapnya, dan memperlakukannya dengan baik. Hingga kini umat muslim di Jepang berkisar 200 ribu dengan 50 ribu di antaranya merupakan warga pribumi Jepang.
Minggu, 17 Januari 2010
Sejarah Jepang
Awal Mula Terjadinya Jepang
Jepang kini sudah dikenal masyarakat dunia bukan lagi sebagai negara berkembang melainkan sebagai negara maju.. Hal ini dibuktikan dengan merajalelanya produk-produk yang beredar dengan lebel Negara Matahari Terbit tersebut. Seperti konsumsi (rumah makan), barang elektronik, transportasi, pakaian, dan bahan baku lainnya bahkan atom & nuklir.
Jepang sendiri adalah negara yang tidak begitu luas dibandingkan dengan Indonesia. Namun Jepang sudah mampu mengalahkan negara-negara Asia lainnya. Luas negara Jepang sendiri adalah + 378.000km2 (ada pula yang menyebutkan hanya 370.000 km2). Itu berarti hanya 1/25 (seper dua puluh lima) dari negara Amerika. Bahkan cenderung lebih kecil dari Kalifornia.
Berdasarkan keadaan geografis dan sejarahnya, Jepang dibagi menjadi sembilan kawasan dari 47 prefektur. Kesembilan wilayah tersebut adalah Hokkaido, Tohoku, Kanto, Chubu, Kinki, Chugoku, Shikoku, Kyushu, dan Okinawa. Sedang empat pulau utamanya adalah Hokkaido, Honshu, Shikoku, dan Kyushu.
Selain dikenal sebagai product monster, Jepang juga dikenal sebagai negara misteri karena penuh tanda tanya dan sejarah. Mulai dari agama, bahasa, kebudayaan, penduduk, hingga awal terjadinya kepulauannya. Jika Amerika ditemukan oleh Colombus?, maka tidak begitu dengan Jepang.
Awal terjadinya kepulauan Jepang dimulai pada masa Palaozoic. Kala itu Jepang masih merupakan dasar lautan. Setelah memasuki masa Mesozoic, dasar lautan yang dimaksud mengalami perubahan dan membentuk daratan yang menyambung dengan Asia. Namun, pada akhir periode III masa Cenozoik, daratan tersebut kembali ke dasar laut.
Pada periode IV masa Deluvium, dasar laut tersebut timbul kembali dan sekali lagi menyatu dengan Asia. Setelah mengalami banyak perubahan alam dan cuaca, pada zaman es ke-3 (Dilivium), daratan yang menyatu dengan Asia ini berangsur-angsur mengalami penurunan dan membentuk kepulauan Jepang seperti sekarang ini.
Jepang yang memiliki ¾ kawasan pegunungan atau + 70% dari keseluruhan daratan memiliki empat musim yang berbeda. Empat musim tersebut adalah musim semi/haru (Maret – Mei), panas/natsu (Juni – Agustus), dingin/fuyu (September – Nopember), gugur/aki (Desember – Februari). Meski perubahan-perubahan iklim & cuaca sangat dinantikan masyarakat Jepang, ternyata Jepang sangat rawan terjadi gempa bumi dan bencana alam akibat letak geografisnya yang dipenuhi dengan pegunungan dan bukit-bukit.
Penghuni Jepang sendiri berasal dari beberapa negara yang bersinggah dan melakukan jual beli. Banyak pihak yang berpendapat berbeda akan hal ini. Masyarakat awam cenderung beranggapan bahwa suku Ainu lah sebagai penduduk pertama Jepang. Namun, pendapat tersebut belum dapat dibenarkan. Pendapat lain juga menyebutkan bahwa penduduk asli atau nenek moyang Jepang adalah yang memiliki kebudayaan Jōmon. Hal ini dikarenakan telah ditemukannya fosil dari hasil kebudayaan Jōmon. Ada pendapat lain yang menyebutkan, dan terkenal dengan sebutan Teori Selatan-Utara bahwa nenek moyang Jepang yang asli berasal dari daratan Asia yang tinggal dan menamakan dirinya sebagai Kikajin yang berawal pada jaman Yayoi.
Teori Selatan menyebutkan bahwa nenek moyang Jepang berasal dari Asia Tenggara seperti Tibet, Taiwan, Kepulauan Pasifik Barat Daya, Melayu, dan bahkan Indonesia. Teori ini dapat dibenarkan dengan adanya penemuan tentang cara bercocok tanam yang dilakukan oleh nenek moyangnya dengan cara membuat sawah.
Teori Utara menyebutkan lain. Di sini disebutkan bahwa nenek moyang Jepang berasal dari pusat daratan Asia seperti Mongol, Manchuria, Siberia, dan Turki. Teori juga dapat dibenarkan karena tata bahasa yang digunakan dalam keseharian msyarakat Jepang sesuai dengan susunan bahasa Korea, Ural, Turki, dan sebagainya.
Zaman di Jepang
Pada dasarnya, Jepang memiliki banyak jaman sesuai dengan perubahan masa dan kekuasaan. Namun, secara garis besar Jepang dibagi menjadi 5 periode. Periode tersebut meliputi
1. Abad kuno atau disebut dengan ‘Kodai’. Periode ini meliputi zaman primitif / Genshi Jidai (abad ke-3), zaman Yamato (592), zaman Nara (710), dan zaman Hei An (794-1192)
2. Abad pertengahan atau disebut dengan ‘Chuusei’ yang meliputi zaman Kamakura (1192-1333), zaman Muromachi (1334-1573), dan zaman Azuchi Momoyama (1573-1603)
3. Abad pra modern atau ‘Kinsei’ yang dimulai dengan zaman Edo (1603-1868)
4. Abad modern atau ’Kindai’. Pada periode Jepang banyak mengalami perubahan dan mulai dikenal dunia luar. Zaman yan sering dibicarakan ini dikenal dengan zaman Meiji (1868-1912)
5. Dewasa ini atau lebih dikenal dengan ‘Gendai’. Periode ini meliputi zaman Taisho (1912-1926), zaman Showa (1926-1991), dan zaman Heisei (1991-sekarang?)
Dalam perputaran tiap zaman, Jepang juga mengalami perubahan kebudayaan. Namun, perubahan yang paling besar (meliputi social dan politik) adalah saat terjadinya ‘Restorasi Meiji’. Pada saat itu, Jepang dipaksa untuk kembali membuka diri untuk negara luar.
Langganan:
Postingan (Atom)