Rabu, 20 Januari 2010

Jejak Kehidupan Di Negeri Sakura

Perjalanan hidup memang tak dapat diduga, walau tetap harus direncanakan. Berawal dari kesempatan sebagai researcher di Tokyo Engineering University yang dibiayai oleh HEDS-JICA, April-Oktober 1998, Hachioji, Japan, penulis kemudian mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan program S2, bahkan nantinya S3 di Jepang. Awal April tahun 2000, penulis mengawali studi lanjut tersebut dengan sebuah tekad bahwa kesempatan pasti tak akan datang dua kali. Saat itu dimulailah perjalanan hidup seorang buda' Pontianak, yang akan mengisi hari-harinya di sebuah negara yang mungkin menjadi idaman setiap orang.

Hawa dingin seketika mencegat penulis ketika baru saja tiba di Narita International Airport. Setelah diberikan pengarahan, mulailah kami yang saat itu dalam satu rombongan --berjumlah kurang lebih hanya belasan orang penerima beasiswa Monbukagakusho (Japan Ministry of Education)-- diantar ke kampus masing-masing. Setibanya di asrama milik Tokyo Institute of Technology, penulis kemudian diterima dengan baik oleh pengelola asrama tersebut. Sebuah kamar yang dilengkapi dengan tempat tidur, meja belajar, lemari pakaian, rak buku, wastafel, dalam satu ruangan berukuran kurang lebih 2×4 m2, kelak menjadi saksi sebuah pergulatan budaya, kerja keras bahkan kenaifan seorang anak kampung.

Selama satu tahun pertama, penulis harus menempuh masa orientasi dalam bentuk enam bulan untuk mempelajari Bahasa Jepang dan sisanya untuk mempersiapkan riset. Kegiatan tersebut dimulai setiap pagi hingga sore hari. Oleh karena itu tak heran setiap pagi penulis harus terburu-buru --sebagaimana ciri khas orang Jepang-- mengejar kereta listrik (densha) dan rela berimpitan di gerbong dengan orang-orang Jepang yang konon hanya mandi satu kali sehari, namun tertib ketika antri. Sebagai seseorang yang berasal dari negara yang memiliki kultur budaya berbeda, penulis tentu saja harus belajar banyak, tidak hanya dunia kampus namun juga tentang luar kampus.

Karakter orang Jepang yang pekerja keras, disiplin, tepat waktu, pantang menyerah, mandiri, bekerja dalam kelompok dan lainnya adalah karakter yang mau tidak mau mempengaruhi penulis. Bahkan, biarkanlah karakter tersebut menjadi 'racun' yang menjalar di setiap pembuluh darah karena ternyata kelak itu akan menjadi penopang keberhasilan bagi siapa saja. Itulah yang penulis rasakan selama tinggal di Jepang.

Beban kuliah yang padat, tugas, kewajiban untuk publikasi hasil penelitian dalam bentuk prosiding (annual conferences ataupun international conferences) dan jurnal, seminar di laboratorium untuk laporan kemajuan penelitian, hingga seminar buku referensi dan jurnal peneliti lain adalah santapan terjadwal yang harus dilakoni. Tak heran penulis sering kali harus lembur di laboratorium ataupun pulang dengan kereta terakhir.

Setahun setelah tinggal di asrama milik kampus, penulis harus pindah. Dengan status sebagai pengantin baru saat itu mengharuskan juga penulis untuk mencari apartemen. Ternyata memang tidak mudah untuk tinggal di apartemen. Penulis dan siapa saja mesti menyiapkan uang sekitar 250.000 yen (atau 30 juta-an rupiah) yang terdiri dari deposit (shikikin/hoshokin) yang besarnya biasanya 1-3 bulan uang sewa, uang kunci/uang terimakasih kepada tuan rumah pemilik apartemen (reikin) yang besarnya 1-2 bulan uang sewa, dan uang komisi untuk agen properti (chukai-tesuryo), dan tentu saja uang sewa bulan pertama. Bahkan bagi kita orang asing yang ingin menyewa apartemen diharuskan untuk mencari penjamin yang mesti orang Jepang.

Menyiasati mahalnya kehidupan di Jepang, mau tidak mau mengharuskan kita untuk putar otak walaupun setiap bulan beasiswa yang diterima dari Pemerintah Jepang adalah sekitar 20 juta rupiah. Dengan memanfaatkan pamflet (chirasi) kita dapat mengetahui informasi sale dan discount barang-barang tertentu, seperti gula pasir, minyak goreng, telur, roti, dan lain sebagainya. Itupun harus rebutan dengan orang Jepang sendiri. Membawa masakan sendiri (bentou) juga membuat lebih hemat. Bayangkan saja, untuk sekali makan di luar bisa menghabiskan setidaknya 120 ribu rupiah, tentu akan lebih hemat jika kita memasak sendiri. Soal rasa? Ah, lupakanlah itu sementara waktu. Memanfaatkan poin belanja (pointo kaado) juga adalah sebuah strategi untuk berhemat. Atau cobalah untuk berbelanja di atas jam 8 malam. Saat itu hampir semua produk makanan diberikan potongan harga sebanyak 50%.

Aha!!! Jangan lupakan pula momen flea market atau bazar. Di Jepang, sering sekali momen itu terjadi dan sudah pasti akan banyak peminatnya. Jangan bayangkan kalau barang-barang yang dijual itu adalah barang tak layak pakai. Tak jarang barang-barang itu dijual hanya karena penjualnya sudah bosan memajangnya di rumah atau karena ingin membeli produk terbaru untuk barang yang sama. Harganya? Jangan khawatir, jelas-jelas miring dari harga pasaran. Jika ingin lebih murah lagi, ada siasat yang jitu, misalnya pada pergantian musim. Belilah baju untuk musim dingin pada saat menjelang musim panas dan sebaliknya. Toko 100 yen (hyakuen shoppu) juga ada di mana-mana, menyediakan barang sehari-hari dengan harga murah atau all item hanya 100 yen (sekitar 12 ribu rupiah). Di awal Tahun Baru juga banyak toko atau mal yang menyediakan 'kantong keberuntungan' (fuku bukuro). Kita tidak bisa melihat isi kantong tersebut, tetapi biasanya isinya cukup banyak yang total harga sebenarnya adalah 3 sampai 10 kali lipat harga yang kita bayar di kasir.

Suka nonton bioskop? Ah, ini hobi yang sepatutnya menyiksa perasaan kalau kita berada di Jepang. Bayangkan saja, tiket masuk seharga 1.800 yen (kurang lebih 200 ribu rupiah) untuk setiap pertunjukan. Tapi setiap awal bulan ada yang disebut cinema day, banyak bioskop yang harga tiketnya 'cukup murah', yaitu 1.000 yen (kurang lebih 120 ribu rupiah). Selain itu, setiap hari Rabu ada ladies day, cukup 1.000 yen. Masih kemahalan? Kalau begitu, beli saja DVD player, kemudian ke rental untuk meminjam video yang harganya hanya 100-300 yen (sekitar 12 ribu-36 ribu rupiah) untuk sewa 4-7 hari.

Untuk yang hobi traveling, ingin jalan-jalan keliling Jepang juga dapat dengan ongkos murah. Juhachi kippu (18 karcis/tiket) adalah pilihan. Karcis ini berharga 11.500 yen untuk 5 hari per-orang atau sehari untuk 5 orang dan bisa digunakan selama satu hari penuh keluar masuk stasiun tanpa harus bayar ongkos tambahan, cukup ditandai cap petugas stasiun saat keberangkatan pertama. Karcis ini dipergunakan selama tiga kali setahun, yaitu:
1. liburan musim dingin (10 Desember sampai dengan 20 Januari),
2. liburan musim semi (10 Maret sampai dengan 10 April),
3. liburan musim panas (10 Agustus sampai dengan 10 September).
Emang sih, tiket itu bukan untuk jenis kereta yang ekspres, apalagi shinkansen. Namun jangan khawatir, perjalanan ditanggung akan selalu nyaman dan menyenangkan karena semua kereta lokal dilengkapi dengan cooler (AC) dan heater. Jadi tak perlu mengenakan jaket tebal jika bepergian di musim dingin, misalnya. Karena selain gerbong yang hangat karena pemakaian heater, kursi yang kita duduki pun terasa hangat, bahkan kadang terasa agak panas.

Berburu barang bekas di tempat sampah juga menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi mahasiswa asing. Uuups!!! Please deh, tempat sampah di Jepang sama sekali jauh berbeda dengan di negara kita. Mereka memisahkan barang terbakar (moeru gomi) dengan tidak terbakar (moenai gomi) pada kantong plastik yang berbeda warna. Tempat pengumpulan sampahnya juga bersih. Nah, setiap hari tertentu orang-orang Jepang yang sudah bosan dengan suatu produk, seperti TV, kulkas, tape recorder, video, microwave, rice cooker, toaster, dan lain sebagainya, akan membuangnya ke tempat sampah. Jangan bayangkan lagi kalau barang-barang itu sudah rusak. Barang-barang tersebut bahkan masih layak pakai, walaupun mungkin saja ada fungsinya yang tidak lagi optimal.

Oh iya! Tahukah berapa yang harus kita bayar kalau cukur rambut? Siapkanlah uang 3.500 yen (sekitar 420 ribu rupiah) untuk sekali cukur rambut. Makanya tak heran mungkin banyak mahasiswa asing yang membiarkan rambutnya gondrong. Memang sih ada yang murah, hanya sekitar 1.000-1.500 yen saja (sekitar 120 ribu -180 ribu rupiah), tapi itu dilakukan dalam hitungan waktu 10-15 menit. Untuk menyiasatinya belilah alat potong rambut elektronik harganya sekitar 5.000 yen (kurang lebih 600 ribu rupiah). Alat tersebut sudah lengkap dengan piranti untuk mencegah agar rambut tidak terpangkas habis secara tidak sengaja.

Untuk mereka yang pecandu rokok, upayakanlah untuk melupakan itu selama di Jepang. Bagaimana tidak, perokok tersebut akan menghabiskan uang sekitar 13 juta rupiah per-tahun dengan asumsi 1 bungkus rokok per-hari dan harga per-bungkus adalah 300 yen (36 ribu rupiah). Apalagi perkembangan terbaru, kabarnya Pemerintah Jepang mulai membatasi umur para pecandu rokok dengan UU Jepang yang melarang rokok bagi yang belum berumur 20 tahun. Memang, mesin penjual otomatis atau vending machine (jidou hambaiki) khusus menjual rokok dengan gampang ditemui. Namun terkait dengan undang-undang baru itu, Pemerintah Jepang mewajibkan semua Tabaco Vending Machine dilengkapi dengan sensor khusus yang dapat membaca tanggal lahir, bulan dan tahun si calon pembeli atau sebuah kartu khusus yang disebut Taspo Card (Tasupo Kaado). Kartu ini dilengkapi dengan identitas diri lengkap, termasuk foto dan sensor seperti kartu ATM.

Selain mahalnya segala kebutuhan dan barang di Jepang, banyak pula kebijakan Pemerintah Jepang yang sangat bermanfaat dan meringankan, salah satunya adalah fasilitas kesehatan. Kita diwajibkan untuk mengikuti program asuransi nasional karena nantinya hanya perlu membayar 30% dari total biaya berobat. Bahkan sebagai mahasiswa akan memperoleh tambahan potongan sebesar 35% dari Kementerian Pendidikan Jepang. Jangan khawatir dengan premi asuransi setiap bulan, karena jauh lebih ringan daripada orang kebanyakan dan perlakuan yang diberikan tidak berbeda. Apakah orang kaya atau miskin, proses masuk dan keluar dari rumah sakit adalah sangat mudah.

Bagi mahasiswa yang kebetulan istrinya hamil, akan ada keringanan biaya persalinan. Dengan menunjukkan beberapa persyaratan yang diperlukan dan wawancara maka kita hanya perlu membayar 35.000 yen saja (4.200.000 rupiah) dari biaya yang semestinya dibayarkan, yaitu 300.000 yen (sekitar 36 juta rupiah). Bahkan pihak asuransi akan memberikan lagi pengembalian biaya melahirkan (sushan hojookin), yaitu sebesar 300.000 yen. Cukupkah? Daftarkanlah anak tersebut ke kantor kecamatan setempat (fukushi kuyakusho) untuk memperoleh uang susu (jidou te a te) 5.000 yen per-bulan (600 ribu rupiah).

Kalau saja banyak keringanan yang telah diberikan oleh Pemerintah Jepang ini dirasakan masih belum cukup, maka mahasiswa asing diperbolehkan untuk kerja sambilan/part time job (arubaito) walau dibatasi 20 jam per-minggu. Hanya dengan memiliki surat ijin (shikaku gaikatsudou kyokasho) dari kantor imigrasi setempat, dengan terlebih dahulu memberikan dokumen persyaratan, maka kita bisa memperoleh 120 ribu rupiah per-jam atau hampir 10 juta setiap bulannya.

Bagi mahasiswa yang muslim, tak perlu khawatir pula akan sulit memperoleh makanan halal, baik daging sapi, daging ayam, mie instan, bumbu-bumbu penyedap made in Indonesia, bahkan tempe sekalipun, karena ada beberapa toko halal di sana yang menyediakan pemesanan online. Kalau istri mengenakan jilbab rapi atau seorang laki-laki memelihara jenggot juga akan aman-aman saja karena privacy seseorang sangat dihormati di Jepang.

Sungguh. Sebagai seorang mahasiswa, Jepang akan meninggalkan banyak jejak kehidupan bagi siapa saja selama pernah menetap di sana. Rasa senang ketika penelitian kita berhasil dipublikasikan, atau dapat menyelesaikan setiap tugas dengan baik, hingga sekadar memiliki sedikit waktu luang untuk sejenak berleha-leha adalah tentu memberikan kebahagiaan. Sedih saat ditegur oleh profesor, beban tugas yang terlalu banyak, jauh dari keluarga atau menyadari bahwa hanya tinggal kita sendiri saja yang masih di laboratorium menjelang tengah malam untuk penelitian, sudah tentu itu juga adalah sebuah kenangan. Namun, bukankah suka duka adalah keniscayaan bagi siapa saja? Itulah kehidupan. Ketika dijalani dengan keikhlasan dan bukan sebagai beban, maka percayalah diujungnya adalah sebuah keberhasilan. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar